Ikuti @fauzinesia

KEDUDUKAN WANITA DALAM PENDIDIKAN ISLAM


KEDUDUKAN WANITA DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. Emansipasi Kaum Wanita
Setiap kali membicarakan soal wanita pada zaman sekarang ini, kita selalu dihadapkan kepada suatu semboyan emansipasi kaum wanita. Perkataan itu selalu diartikan tuntutan kaum wanita untuk memperjuangkan hak-hak yang dalam sepanjang sejarah manusia selalu ditindas dan dirampas. Perjuangan itu memuncak pada prinsip persamaan hak dengan pria di dalam segala lapangan, terutama dalam pendidikan dan membebaskan dari segala tugasnya sehari-hari yang dianggap sesuai dengan sifat kewanitaannya.
Ada suatu asosiasi pikiran yang salah yang selalu dilontarkan selama ini, bahwa wanita Islam sama artinya dengan wanita kolot, ketinggalan zaman, tidak progresif, tidak mengikuti aliran emansipasi yang membanjir di seluruh dunia sekarang.
Asosiasi tersebut berkembang di kalangan muda-mudi, yang akan menjadi penerus dari angkatan kita. Segala sesuatu yang berbau agama dikatakan kolot, out de mode, dan tidak layak dipakai pada zaman yang serba modern. Sebagai lanjutannya, semua sifat baik dan akhlak utama yang bersumber pada agama, dilawan dan ditentang. Akibatnya putra putri yang belajar di madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam betapa pun tingginya, sampai ke fakultas, akademi dan universitas tetap dinilai rendah dan tidak bermutu, serta hanya menghabiskan usia untuk mempelajari sesuatu yang tidak berguna bagi kehidupan dunia, apalagi pada zaman globalisasi sekarang ini.
Dalam perjalanan sejarah manusia, soal wanita tetap dianggap penting, menduduki tempat yang istimewa dalam setiap pembahasan. Itu sebabnya, Encyclopedia of Social Sciences menempatkan soal kedudukan wanita dalam masyarakat (Women, position in Society) menjadi soal yang terdepan, barulah muncul soal-soal lain berturut-turut.
Mengenai kebangkitan wanita Islam, dicontohkan wanita Turki yang mulai membentuk organisasinya pada tahun 1908, kemudian lahirnya undang-undang sipil yang mengakui hak-hak wanita-wanita pada tahun 1925 (Turkis Civil Code of December, 1925). Kemudian disebutkannya kebangkitan wanita Mesir, dengan terbitnya buku Tahrir Al-Marah (Membebaskan kaum wanita) pada tahun yang sama (1908), karangan Qasim Amien. Buku itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh O. Rescher dengan judul Ueberdie Frauen Emancipation (Emansipasi Kaum Wanita) yang diterbitkan di Stuttgart pada tahun 1928.
Pengertian emansipasi tidak selalu jelek seperti dipahamkan oleh muda mudi kita yang meniru-niru Barat dan mendobrak segala pagar dan batas-batas yang harus dihormati. Tidaklah keharusan emansipasi wanita yang berarti perjuangan menuntut persamaan hak dan kebebasan dengan laki-laki, menjadi pelanggaran segala hukum moral seperti yang dipertunjukkan oleh barat sekarang. Tetapi karena latar belakang falsafah hidup Barat itu bersumber pada mitologi Yunani, yang mendasarkan pandangannya terhadap wanita kepada 3 dewan yang dipujinya, maka terjadilah segala hal-hal negative seperti sekarang:
1. Pandora, sebagai wanita pertama yang dikirim oleh Dewa Zeus ke muka bumi dengan membawa sebuah kotak tertutup yang berisikan segala macam penyakit. Karena ingin mengetahuinya, Pandora membukanya lalu bertebaranlah segala penyakit dari dalamnya. Itulah sebabnya, mereka menganggap bahwa kaum wanita adalah sumber segala bencana dan penyakit.
2. Aphrodite, yang di dalam bangsa Romawi dinamakan Venus dewi asmara dan kejelitaan, anak puteri dari Dewa Zeus dan Dione. Aphroditer yang namanya berarti lahir dari buih laut yang memutih, adalah istri dari Hephistos (Vulcanus), tetapi sering tidak setia dan selalu menyeleweng dengan dewa-dewa lainnya.
3. Cupid, yang pada bangsa Romawi disebut Amor dan Eros, ialah dewa asmara.
Bagaimana besar pengaruhnya kepercayaan ini kepada masyarakat Barat, diterangkan oleh Abul A’la Maududi sebagai berikut: Nilai-nilai moral sering berubah-ubah dikalangan bangsa-bangsa Barat, sampai kepada batas bahwa filosof-filosof besar dan ahli-ahli hukum moral di kalangan mereka tidak menganggap bahwa zina dan perbuatan maksiat adalah satu perbuatan hina yang tercela. Rakyat umum mereka memandang akad pernikahan sebagai suatu hal yang tidak penting dan tidak diperlukan. Tidaklah menjadi soal bagi mereka seroang pria bergaul serumah dengan seorang wanita secara terang-terangan tanpa akad nikah dan pernikahan. Maka akibatnya, akhlak mereka tunduk pada hawa nafsu syahwat mereka. Tersebarlah di kalangan mereka, pemujaan kepada Dewi Aphrodite yang menurut cerita mitologi Yunani berpasangan dengan 3 orang dewa, seorang diantaranya adalah istri dari seorang dewa yang bernama Hephaistos. Dan diantara pasangannya adalah seorang manusia biasa, dan dari hubungan tersebut lahirlah Cupido yang dianggap Dewa Kecintaan, sebagai akibat hubungannya dengan manusia biasa.
Setelah kita meninjau emansipasi wanita Barat ini, timbullah suatu kesadaran bahwa jatuhnya moral Barat tentang wanita bukanlah suatu hal yang aneh, sebagai konsekuensi logis dari latar belakang falsafah hidup yang sudah berjalan berpuluh-puluh abad lamanya, semenjak zaman Yunani dan Romawi purbakala. Emansipasi wanita Timur, seprti Mesir yang disebut oleh Rescher di atas, yang tidak menyebabkan keruntuhan moral, tidak lain karena perbedaan latar belakang falsafah hidup Islam dengan mereka.
Adapun emansipasi wanita di Indonesia, jauh lebih aman dan tidak terlalu menggoncangkan sendi-sendi masyarakat, seperti halnya di Barat. Dimulai dari kebangkitan R.A. Kartini di Jawa Tengah, Dewi Sartika di Jawa Barat, dan Rohana Kudus di Sumatera Barat, gerakan pembebasan dan persamaan wanita terus menerus diperjuangkan tanpa menemui perlawanan dan pertentangan terutama dalam mengenyam pengetahuan di bidang pendidikan.
Setelah kemerdekaan tercapai pada tahun 1945, segala hak-hak wanita yang diperjuangkan dengan gigih dan gencarnya di luar negeri dan yang belum mencapai tujuannya di Indonesia dapat dihasilkan dengan mudah.
Adapun mengenai emansipasi di lapangan sosial, kita akui berjalan agak lamban karena harus melalui berbagai penyelesaian tentang maksud perubahan-perubahan yang diadakan. Misalnya tentang pernikahan yang baru beberapa tahun yang lampau disahkan undang-undangnya, perbaikan nasib buruh wanita, kebebasan pergaulan antara wanita dan pria dan sejenisnya memang memerlukan penelitian yang agak lama. Adat istiadat setiap daerah, akhlak ketimuran umumnya dan Indonesia khususnya, begitu juga nilai-nilai moral yang ada pada rakyat umumnya, memegang peranan yang besar di dalam penelitian itu.
Adapun emansipasi wanita sebenarnya yang harus kita persoalkan, ialah mengenai dua persoalan penting yang semakin mendesak masyarakat kita. Persoalan-persoalan itu adalah ilmu pengetahuan dan lapangan pekerjaan. Kita menyadari bahwa kita tidak kekurangan prinsip-prinsip yang progresif yang dapat memenuhi segala tuntutan emansipasi, tetapi kaum wanita yang kekurangan ilmu pengetahuan, seperti halnya kekurangan ilmu itu meliputi juga seluruh bangsa kita.
B. Wanita dan Ilmu Pengetahuan
Bukan menjadi persoalan lagi bahwa hak dan kewajiban kaum wanita menuntut ilmu pengetahuan yang sama antara kaum pria dan kaum wanita. Di dalam segala tingkat madrasah dan sekolah, dari taman kanak-kanak, dasar, menengah dan tinggi sampai universitas, Islam tidak pernah membatasi atau mengurangi hak wanita dari pria.
Di zaman Nabi misalnya, kebebasan wanita mempunyai kedudukan tersendiri di dalam segala kepentingannya. Dalam firman Allah Swt ditegaskan sebutan muslimat di samping muslimin, mukminat di samping mukminin, sebagai tuntutan yang dikemukakan oleh pemimpin wanita Ummu Salamah, istri Nabi, bahkan pada beberapa surah dalam al-Quran dikhususkan membicarakan soal-soal wanita, dan satu diantaranya adalah surah an-Nisa. Behitu beliau sampai di Madinah dalam hijrahnya, Nabi memerintahkan kepada Umar bin Khattab, untuk mengambil baiat khusus untuk kaum wanita, sewaktu pembukaan kota Mekkah.
Nabi Muhammad bertindak lebih jauh daripada yang kita ributkan sekarang ini. Beliau mendirikan suatu madrasah untuk mendidik wanita-wanita Islam. Selain itu beliau melatih para istrinya untuk menjadi pengajar dann pemimpin di kalangan kaum wanita.
1. Siti Aisyah Guru Teladan
Siti Aisyah adalah pemimpin dan pejuang kaum wanita, yang membela dan menegakkan hak wanita tanpa diragukan lagi. Dialah pembela kaum yang lemah karena kedudukannya yang tinggi di dalam ilmu, adab dan agama yang tidak bisa dicapai oleh siapapun. Dia adalah Mahaguru dari para sahabat di dalam ilmu pengetahuan dan agama. Para khulafaur Rasyidin menjunjung kedudukannya yang tinggi itu, senantiasa musyawarah dan bertanya kepadanya tentang soal-soal yang penting. Para kepala Negara Islam selalu mendengar dan menerima pendapatnya. Dia membetulkan kalau terjadi kesalahan di dalam hadits Nabi yang mereka pakai atau hukum Negara yang mereka tetapkan.
Imam Zarkasyi pernah menulis suatu buku yang khusus mengenai teguran-teguran Siti Aisyah kepada para sahabat. Buku itu bernama: Keterangan yang positif tentang teguran yang di berikan oleh Siti Aisyah kepada para sahabat.
Di antara peristiwa teguran itu, ialah sewaktu diberitakan kepadanya bahwa Abdullah bin Amr bin Al-Aas pernah memberitakan fatwa bahwa seorang wanita kalau melakukan mandi wajiib harus melepaskan dan membasahi seluruh rambutnya. Terhadap fatwa Aisyah menegurnya dan berkata, “Mengapa tidak dia suruh kaum wanita mencukur seluruh rambutnya? Saya pernah mandi wajib bersama-sama dengan Nabi di dalam suatu bejana, dan saya hanya menuangkan air di atas (rambut) kepala saya cukup 3 kali”.
2. Hak-hak Ilmiah yang Penuh bagi Wanita
Sid al-Afghani berkata: Perhatikanlah betapa sedihnya Nabi melihat sikap orang-orang yang menghina anak-anak wanita, dan betapa besar kasih sayang beliau terhadap anak-anak wanita dengan katta-kata yang sangat meresap dan meninggalkan bekas yang mendalam. Seluruh hidup Nabi merupakan madrasah tempat belajar para sahabatnya untuk memelihara kaum wanita dengan sebaik-baiknya dan memenuhi segala hak-hak mereka. Pada tahun terakhir dari umur beliau, sewaktu beliau mengerjakan haji pamitan yang dihadiri oleh orang yang banyak kabilah Arab, beliau memberikan pidato terakhir, sebagai wasiat terakhir bagi segenap Muslimin. Di antara wasiat beliau ialah supaya menyayangi kaum wanita. Pesan wasiat itu meresap ke dalam hati kabilah-kabilah Arab dan telah mencabut sifat-sifat kekasaran Jahiliyah, maka setiap mereka hendak bersikap kasar kepada wanita makhluk yang lemah itu, mereka teringat akan wasiat Rasul yang merupakan janji sumpah dari Nabi kepada mereka. Wasiat itu selalu mengetuk pintu hati mereka dengan sekumpulan ucapan beliau yang sangat ttegas dalam khotbah pamitan itu. Adapun ucapan itu ialah “Ingatlah! Saling berpesanlah (berwasiatlah) kamu sekalian supaya bersikap baik terhadap wanita.
Sayyid Jamaludin al-Qasimy memandang bahwa menghalangi kaum wanita untuk belajar ilmu pengetahuan merupakan perbuatan bid’ah dan sangat bertentangan dengan agama. Disebutkannya suatu hadits yang diriwayatkan imam Bukhari Muslim dan lainnya, bahwa Nabi pernah mengajar kaum wanita di hari raya di tempat sembahyang (mushalla). Lalu beliau member pelajaran kepada mereka dan memerintahkan mereka untuk menghadiri pengajian-pengajian meskipun mereka berada di dalam keadaan haid (menstruasi).
Di Indonesia berdiri Diniyah Putri Padang Panjang, Diniyah tersebut telah menghasilkan putri-putri pemimpin, maka di bawah pimpinan ibu Isnaniyah yang sekarang maju selangkah lagi, mempunyai fakultas-fakultas dan pelajaran-pelajaran tingkat tinggi. Para siswi yang sudah menyelesaikan studinya di Mesir, Kuwait dan lainnya menyumbangkan ilmu menjadi guru/dosen di dalam sekolah Diniyah tersebut yang telah mendidiknya dahulu.
Keistimewaan yang lain dari madrasah-madrasah yang ada pada Diniyah Putri Padang Panjang ini, ialah khusus untuk kaum wanita. Seluruh pelajar adalah kaum wanita yang berdatangan dari segenap penjuru tanah air bahkan dari Malaysia.
Di masa sekarang Diniyah Putri sudah membuka pelajaran tingkat tinggi, dinamakn Dirasah Islamiyah. Berbagai jurusan terdapat di dalamnya dan mungkin nanti akan dipecah menjadi beberapa fakultas, sehingga dapat dijadikan Universitas Wanita yang pertama di Indonesia.
Gerbang ilmu pengetahuan dan keterampilan/kesenian mulai dibuka di masa itu. Di samping Rohana dan Zubaidah di Sumatra Barat, di Jawa ada pula 2 orang wanita perintis, yaitu R.A. Kartini di Jawa Tengah dan Dewi Sartika di Jawa Barat, dan keduanya lebih mementingkan sekolah dan pendidikan. Di masa kita sekarang, segala ilmu itu telah mencapai tingkat tinggi, baik kewartawanan dan publisistik, ilmu ekonomi pembangunan (termasuk membatik dan pertenunan), atau ilmu pendidikan dan lainnya. Kita bersyukur bahwa kaum wanita kita sudah mengetuk segala pintu ilmu itu, dengan segala kebebasan tanpa suatu halangan. Paham-paham kolot yang menghalangi kaum wanita untuk belajar sudah hilang.

3. Madrasah-Madrasah Putri di Setiap Kampung dan Desa
Di Masa sekarang hamper di setiap kampong dan desa terutama di seluruh Sumatra Barat berdiri madarasah-madrasah untuk wanita, duduk belajar bersama dengan anak-anak pria. Apa yang masih menjadi persoalan di sekolah-sekolah Barat tentang “Co-education” (belajar bersama-sama antara anak-anak pria dan anak-anak wanita), sudah lama berlaku diseluruh madrasah Islam di Sumatra Barat, dan juga daerah-daerah lainnya.
Mengenai staf guru juga terdiri dari guru-guru pria da guru-guru wanita sesuai dengan keahlian masing-masing. Mungkin di masa ini jumlah siswi begitu juga guru-guru wanita, jauh lebih banyak daripada siswa dan guru-guru pria. Gangguan belajar pria jauh lebih banyak daripada pelajar-pelajar wanita yang dahulu sering didesak orangtua untuk dinikahkan sebelum sekolahnya usai.
C. Pendidikan Islam Bagi Wanita
Sebenarnya Islam tidak membedakan antara wanita dan laki-laki dalam pendidikan. Islam memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam menuntut ilmu. Sejak masa klasik telah ditemui wanita-wanita terpelajar. Selain ditemui pengajaran bagi anak-anak perempuan, pengajaran bagi wanita-wanita juga ada. K. Hitti menandaskan bahwa anak-anak diperbolehkan mengikuti sekolah tingkat dasar. Fayyaz Mahmud juga menjelaskan bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah, anak-anak perempuan juga mempunyai kesempatan untuk belajar di maktab-maktab. Akan tetapi tidak banyak data yang menerangkan bahwa wanita-wanita pun ikut belajar di lembaga pendidikan tingkat tinggi.
Dalam system pendidikan Islam di masa klasik, pendidikan Islam bukanlah diperuntukkan hanya bagi laki-laki saja. Wanita pun tidak dilarang ke mesjid untuk mengikuti pelajaran. Akan tetapi, apakah mereka diperbolehkan terlibat langsung dengan murid laki-laki dalam proses belajar mengajar atau mereka belajar terpisah.
Syalaby tidak mengingkari adanya pengajaran untuk wanita dan anak-anak perempuan. Namun ia menolak adanya pengajaran anak-anak perempuan secara terbuka dan terliibat langsung dengan murid-murid laki-laki. Memang dalam kitab al-Aghani, sebagaimana dijelaskan oleh syalaby, ditemukan teks yang menerangkan adanya dua kasus yang meriwayatkan bahwa seorang anak perempuan telah mengikuti pelajaran pada sebuah sekolah tingkat dasar. Kedua perempuan tersebut adalah hamba sahaya, bukan orang merdeka. Oleh sebab itu, Syalaby menolak bahwa pengajaran untuk budak dapat dinilai sebagai “pendidikan” karena pengajaran untuk budak-budak hanyalah untuk menaikkan harga mereka dengan cara mengajar mereka membaca dan menulis. Dengan demikian, riwayat tersebut tidak dapat dipakai sebagai bukti sejarah bahwa anak-anak perempuan merdeka pernah mengikuti pengajaran tingkat dasar di kuttab bersam-sama dengan muruid-murid laki-laki.
Boleh jadi pengajaran untuk anak-anak perempuan tidak dilaksanakan secara terbuka dengan siswa laki-laki. Mereka memperoleh pengajaran dirumah-rumah dengan mendatangkan guru-guru privat. Menurut Muniruddin Ahmed, pelaksanaan pengajaran bagi anak-anak perempuan masih belum jelas. Apakah mereka masih bisa belajar bersama anak laki-laki atau belajar di rumah-rumah.
Sedangkan pengajaran wanita, menurut Muniruddin Ahmed, ada beberapa indikasi yang menjukkan adanya kelompok belajar wanita, tetapi semuanya dilaksanakan secara terpisah. Misalnya Ahmad bin Hanbal mengajar di kelas wanita yang dilaksanakan pada sore hari. Kelas-kelas wanita ini biasanya dilaksanakan di rumah-rumah wanita yang masih ada hubungan keluarga dengan ulama tertentu. Sedangkan wanita yang bukan keluarga dari seorang ulama, biasanya belajar kepada ayah mereka sendiri atau mendatangkan guru pribadi.
Ajaran Islam sesungguhnya tidak membedakan hak antara wanita dan laki-laki untuk menuntut ilmu. Ajarran Islam mewajibkan bagi laki-laki Muslim maupun wanita Muslimah untuk menuntut ilmu. Tetapi, dalam praktinya wanita tidak diberi kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki dalam menuntut ilmu. Mereka tidak boleh belajar bersama-sama baik di mesjid maupun di madrasah. Menurut Jonathan Barkey, alasan pemisahan pendidikan murid wanita dan laki-laki dalam pendidikan adalah karena kehadiran wanita di tengah-tengah kaum laki-laki dianggap tabu dan dikhawatirkan akan mengganggu konsentrasi belajar siswa laki-laki. Karena ancaman inilah, al-Din bin Jama’ah, sebagaiman dikutip oleh Barkey, melarang wanita di madrasah atau berada di suatu tempat di mana siswa-siswa biasanya lewat, atau melongok ke halaman sekolah melalui jendela.
Karena alasan inilah, dalam system pendidikan Islam masa klasik diadakan pemisahan antara kelas wanita dan laki-laki. Pengajaran untuk wanita diadakan secara terpisah dengan siswa laki-laki dan biasanya diselenggarakan di rumah-rumah. Maka dari itu pengajaran bagi wanita secara formal jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan pengajaran untuk siswa laki-laki. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat Islam yang melarang wanita menduduki jabatan birokrasi, lembaga keagamaan dan jabatan resmi pemerintahan. Mereka bersikap demikian karena Q. S. al-Nisa’: 34, menyatakan bahwa, “Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum wanita oleh karena itu Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).” Walaupun demikian, wanita tetap harus belajar ilmu karena ilmu itu penting. Adapun ilmu yang penting bagi kaum wanita adalah ilmu tentang akhlak, hubungan dengan sosial atau muamalah, ajaran ritual atau ibadah dan kesehatan.
Mengenai pendidikan wanita, ada data yang menunjukkan bahwa wanita telah menghadiri suatu majlis yang terbuka bagi wanita dan laki-laki. Mereka juga diberi kesempatan untuk bertanya, misalnya majlis al-wa’dh yang terbuka bagi wanita dan laki-laki. Namun Muniruddin Ahmed menganggap majlis ini sebagai pertemuan, bukan sebagai pengajaran. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa wanita telah diberi kesempatan untuk mengikuti kelas-kelas terbuka, tetapi wanita yang dapat merasakan kesempatan ini jumlahnya relative sedikit.
D. Pendapat Tentang Pendidikan Wanita
a) Pendapat yang menolak pendidikan wanita. Para ulama yang menolak pendidikan wanita , yaitu tidak boleh mengajar wanita selain agama dan Al Quran, dan dilarang mengajarkan menulis. Wanita yang diberi pelajaran menulis diserupakan dengan ular yang menghirup racun. Pendukung pendapat ini mengambil dasar dari Ali bin Abi Thalib yang menjumpai seorang pria yang sedang mengajarkan menulis kepada seorang wanita, lalu beliau menegur, “jangan kamu menambah kejahatan dengan kejahatan.” Selanjutnya pendukung pendapat ini meriwayatkan bahwa ‘Umar bin Khattab melarang wanita belajar menulis. Disamping itu mereka menisbahkan para wanita dengan kekurangan dari segi akal dan agama, dan kekurangan ini merupakan faktor yang menyebabkan tidak boleh mengajarkan pengetahuan kepada para wanita.
b) Pendapat yang memperbolehkan pendidikan wanita. Para pendukung yang memberi pengajaran kepada wanita dengan menggunakan dalil-dalil dari hadits Nabi yang menganjurkan untuk memberi pengajaran kepada wanita, sebagian dari hadits tersebut ialah, “menuntut ilmu diperlukan atas setiap muslim dan muslimah”. “setiap orang yang memilki walidah (hamba) dan mengajarkannya serta mendidiknya, kemudian ia memerdekakannya dan mengawininya, maka ia akan mendapat dua buah pahala.”















BAB III
PENUTUP

Simpulan
Sebagai kesimpulan makalah ini, Islam memberikan persamaan hak dan kewajiban dalam menuntut ilmu bagi waita sebagaimana laki-laki, namun yang menjadi perhatian khusus adalah tentang penekan pendidikan akhlaq. Sebagai contoh Ibnu Urdun berpendapat bahwa nak-anak perempuan harus mempelajari shalat dan agama serta menambahkan pelajaran-pelajaran yang lain, akan tetapi ia tidak sepakat mengajarkan syi’ir dan menulis kepada anak perempuan, serta ia tidak menyetujui memberikan pendidikan anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki dalam sebuah tempat, meskipun ada pendapat yang membolehkan belajar bersama-sama antara anak perempuan dan anak laki-laki.



DAFTAR PUSTAKA

Asrahah Hanun, Dra., M.Ag., 1999, Sejarah Peendidikan Islam, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.

H. A. Mustafa, Drs., dkk,1998, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (SPII), Bandung: CV. Pustaka Setia.

http://indo2.islamic-world.net/index.php?option=com_content&view=article&id=81:pendidikan-wanita-dalam-islam&catid=12:wanita&Itemid=13

ARTIKEL TERKAIT:

Post a Comment

Mari kasih komentar, kritik, dan saran. Jangan lupa juga isi buku tamunya. :D

NB: No Porn, No Sara', No women, No cry

Cari disini

Cerita² Enonk

#Pengunjung

Instagram